
TAGAR INDONESIA.COM – Gagasan besar lahir dari Pesantren Riyadlul Jannah yang berada di kawasan Pacet, Mojokerto Jatim.
Gagasan besar yang menumbuhkan harapan baru dilahirkan dari pemikiran Dr. Budiyono Santoso selaku dosen dan Kepala Program Studi Ekonomi Syariah di STIES (Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah) Riyadlul Jannah.

Ide Budiyono Santoso tak lain mengenalkan “Pesantren Entrepreneurship,”.
Yakni sebuah konsep yang mengajak santri menjadi wirausahawan mandiri dengan hati penuh keikhlasan.
Bahkan berkat ide besar ini yang dituangkan dalam disertasi mengantarkan Budiyono meraih gelar doktor di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan predikat cumlaude.
Sedangkan inti dari gagasan “Pesantren Entrepreneurship,” yang ditawarkan Budiyono Santoso adalah TAWADHU.
Akronim dari Tarbiyah (pendidikan keterampilan), Wathaniyah (cinta ekonomi lokal), Dakwah (jaringan bisnis berbasis kebaikan), Hamasatul Jihad (semangat juang), dan Uswah (teladan Rasulullah).
“Model ini bukan sekadar tentang usaha, tapi tentang ibadah dan keberkahan. TAWADHU menjadi pondasi karakter santri yang mandiri secara ekonomi, beretika, dan memberi manfaat sosial,” ujar Dr. Budiyono.
Budiyono juga menolak pemahaman banyak orang bahwa bisnis yang hanya mengejar keuntungan semata.
Justru sebaliknya Budiyono mengajak santri menjadikan wirausaha sebagai ibadah.
Lewat TAWADHU, santri belajar keterampilan praktis, membangun bisnis yang memperkuat komunitas lokal dan menjalin hubungan melalui nilai kebaikan.
Mereka juga meneladani Rasulullah dalam kepemimpinan yang jujur dan rendah hati.
Di Pesantren Riyadlul Jannah, gagasan ini sudah hidup: santri mengubah limbah organik menjadi produk bernilai, mengelola pertanian terpadu, dan memasarkan usaha kecil lewat teknologi digital semuanya berpijak pada nilai Islam.
Sementara itu, Mokhammad Ainur Rofiq, Ketua STIES Riyadlul Jannah mengaku bangga dengan terobosan ini.
“Ini bukti pesantren bisa menjawab tantangan ekonomi umat dengan solusi nyata,” ujarnya. Untuk memperluas dampak, kampus membuka beasiswa penuh bagi 100 santri tiap tahun, terutama dari daerah terpencil, mencetak “santripreneur” yang inovatif dan berakhlak mulia. (*)
